Sore itu di kala gerimis menyapa bandung aku sedang duduk di kursi panjang sudut gedung kuliahku. Aku bercengkrama bersama teman-temanku, membicarakan sesuatu. Namun, kita semua akhirnya memandang gadget masing-masing dan sibuk sendiri. Gerimis mulai berhenti. Sedikit demi sedikit langit sore mulai menampakkan dirinya, dan menampakkan warna jingganya. Beberapa menit kemudian mata ini mulai perih karena radiasi gadget. Kemudian wajahku beralih menatap langit sore itu. Lama tak menikmati sunset, rasanya ingin menikmati sunset. Langit memang belum cerah betul, ada sedikit kombinasi warna abu-abu di balik bentangan warna jingga itu. Aku juga tidak menemukan sisi keindahan utama dari sunset itu, yaitu matahari. Mungkin sang surya sembunyi di balik tingginya gedung kuliah. Aku teringat saat di kampung halaman. Kebetulan rumahku di daerah pesisir dan setiap libur pasti kusempatkan untuk menikmati sunset bareng sahabatku. Kupikir ini lebih indah dari sunset yang (terpaksa) kunikmati di pojokan gedung kuliah. Terhalang gedung, matahari tak terlihat. Sunset tak sempurna.
Mungkin hal itu sama dengan kehidupan. Kita sebagai manusia (harusnya) sadar kalau diri kita ngga sempurna karena kesempurnaan hanya milik sang pencipta, gusti mulia raya. Kita ditakdirkan sebagai makhluk sosial, kita butuh manusia lain untuk bertahan hidup. Entah kita yang menyesuaikan, atau membuat orang lain untuk membantu kita agar dapat menyesuaikan dengan kehidupan. Yang penting tetap mencari jalan untuk memecahkan sebuah masalah.
Kehidupan itu saling melengkapi. Sekecil apapun kehidupan. Aku sendiri punya kekurangan di indera penciuman. Aku kurang bisa membedakan bau-bau yang sering dijumpai seperti bau nasi goreng, bau bumbu dapur, atau bau sederhana yang lain. Tapi kalo bau kentut yang beneran busuk sama bau duren masih bisa, haha. Mungkin bisa dibilang kurang peka. Contoh kasus saat di kosan aku ragu buat makan suatu makanan basah atau tidak karena udah lewat sehari. Aku ngga mungkin mengandalkan hidung. Aku harus cari solusi yang lain. Ada 2 pilihan solusi yang terlintas di otakku. Pertama bisa menanyakan ke orang lain, dan yang kedua adalah melihat dari segi makanan itu sendiri. Apa udah terlihat lendir, atau ada perubahan warna. Untungnya tuhan masih membuat inderaku yang lain berfungsi normal. Aku memilih mengandalkan penglihatanku karena kupikir menanyakan ke orang lain akan lebih lama dan belum tentu juga kalo pendapatnya benar. Selain itu ada keuntungan lain yaitu efisiensi waktu karena kalau aku mencari teman kosan belum tentu juga ada di kamarnya. Perlu waktu juga untuk menunggu teman kosan untuk membuka pintunya. Perlu waktu lagi untuk menanyakan pendapatnya. Setalah kulihat dengan teliti, ternyata memang ada lendir yang masih sangat tipis. Akhirnya aku tau harus berbuat apa untuk selanjutnya. Aku tidak jadi memakan makanan itu.
Setiap ingin memecahkan suatu masalah, pasti ada banyak pilihan untuk menyelesaikannya. Kasus pertama, aku memilih untuk tidak berbuat apa-apa dan terpaksa menikmati sunset tak sempurna itu. Keinginanku untuk melihat sunset tidak terpenuhi. Untuk kasus kedua adalah kebalikan, aku mencari jalan keluar untuk memecahkan sebuah masalah. Di situ aku memilih solusi mana yang paling pas untuk dilakukan terkait efisiensi energi dan waktu. Memang dua-duanya adalah kasus sederhana, namun dari kasus tersebut terselip sebuah pelajaran tentang mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang diambil, yang dilakukan, akan berefek untuk kehidupan selajutnya.
Sekarang, mati berandai-andai. Asumsikan kamu jadi aku. Kamu sedang di pojokan gedung kuliah dan tiba-tiba ingin menikmati sunset. Apa kamu akan pulang ke kampung halaman dulu untuk melihat sunset, menaiki tangga gedung untuk melihat sunset, atau mungkin memanjat gedung untuk melihat sunset? Hahaha, itu pilihan.
31 Maret 2015
No comments:
Post a Comment