Halaman

Friday, July 20, 2018

Vanilla coffee creamy (cold)

‪Rasa yg lembut selembut caramu merasuki pikiranku. Sensasi gurih dalam balutan krim, rasa nano-nano tak terucapkan. Wangi pada vanila yang manis-manis manja. Lalu diikuti dengan rasa pahit kopi yang muncul belakangan, terasa pada pangkal lidah ketika hendak memasuki kerongkongan.

‪Aaahh hilang sudah rasa-rasa sebelumnya. Yang ada hanya sisa krim di lidah yang lama kelamaan akan habis dikecap pula.‬ Walau setitik, pahitnya kopi memang merusak segalanya. Kini yang ada hanya pertarungan rasa antara krim dan kopi walau berbeda teritori. Perang dingin mereka berdua karena tak berhubungan langsung. Saling menonjolkan keunggulan hingga akhirnya muncullah pemenang di mata penikmatnya yang berhasil mencuri celah dalam memorinya.



Bober Cafe
Bandung, 25 Juli 2017
22.57 WIB

Loyalitas. Sesuatu yg datang sendiri. Terbangun dari emosi. Namun dapat hilang karena perubahan urgensi dari pihak yang tak mau rugi.


2 September 2017
"Aku jadi seperti ini bergantung pada bagaimana kalian memperlakukanku"


Mbak Putri



2 Mei 2017

Yellow Truck : A Review

Hai! Pasca nggudang dan curhat sama Mbak Putri tadi sebenernya aku pengen ke Museum Perjuangan Rakyat di daerah Dipati Ukur. Tapi apa daya hujan badai melanda dan museum tutup sehingga aku harus menunggu di pos satpam museum. Beberapa menit kemudian aku mutusin ke sini buat nyobain kopinya soalnya kata Izzah rasanya lumayan.

Dengan suasana hujan rintik-rintik aku mutusin nerjang dan berangkat ke kafe ini. Waktu menunjukkan pukul 14.32 dan kata mas penjaganya baru buka jam 15.00. Alhasil aku ngeloby buat bisa duduk di dalem sambil ngangetin diri dan dibolehin. 

Kopi yang aku pesen adalah latte. Menurut lidahku terlalu banyak susu dan kayaknya da rasa sedikit telur hingga tanpa gulapun rasanya sudah agak smooth dan manis. Jika biasanya dengan ukuran gelas kecil aku bisa nambah 3 bungkus gula, di sini aku nambah 2 bungkus gula merah rasanya udah kemanisan. It’s mean rasa kopinya ngga terlalu kuat tapi overall oke sih dan ngga bikin kembung sesaat. Buat hiasan krimnya juga bagus dan rapi.

Dari segi tempat. Nuansa cokelat, kuning, putih, ditambah furnitur jadul membuat nyaman dan cozy sehingga mager untuk ke toilet sekalipun kecuali bener-bener kebelet. Tapi adanya sekat pemisah antara bagian pemesanan dan kursi meja membuat aku ngga bisa nyium bau kopi saat proses pembuatan. Kalo ditanya colokannya banyak apa engga jawabannya banyak dan hampir di setiap sub-sub kursi meja ada. Internetnya juga cepet jadi cocok buat orang yang pengen ngerjain tugas. 
Dari segi harga. Kubilang standar soalnya kisaran 20-25 dengan harga kopi yang dingin lebih mahal (di beberapa coffee shop juga biasanya gitu). 
That’s it! Silahkan mencoba!









1 Mei 2017
"Jangan lama-lama terpuruk karena sejatinya masa depanmu (yang masih tanda tanya itu) menunggu untuk dijemput. Karena masih banyak yang lebih menarik daripada merenung memikirkan satu hal yang tak dapat diulang lagi. Mari berdamai dengan diri sendiri, mari keluar dari kandang kesedihan yang sering memicu tetesan air mata. Semangat! Teman-temanmu menunggu di luar!"



25 April 2017


28 Januari 2017
"Aku, kamu, dan kegengsian kita"

Spontanitas




2 Januari 2017

(seharusnya) Manusia

Biarkan..
Biarkan aku yang mencari kebenaran itu
Biarkan aku belajar dari sekitarku
Biarkan aku yang belajar
Biarkan aku memakai caraku
Biarkan pula aku salah
Biarkan aku terus belajar

Karena yang benar itu nyata
Karena yang benar datang tak secepat kau mau
Karena yang benar masih menunggu masa itu

Aku manusia
Aku mungkin lemah
Aku bisa juga lelah
Aku butuh

Adalah kau yang mengenalku
Adalah kau yang mengamatiku
Adalah Kau penciptaku
Adalah Kau penuntunku

Aku merangkak
Aku berjalan
Aku berlari
Aku terus berproses
Aku berproses ke masa itu
Aku yakin
Aku bisa

Biarkan, karena aku adalah aku!




8 April 2015

Solusi untuk Solusi-solusi


Sore itu di kala gerimis menyapa bandung aku sedang duduk di kursi panjang sudut gedung kuliahku. Aku bercengkrama bersama teman-temanku, membicarakan sesuatu. Namun, kita semua akhirnya memandang gadget masing-masing dan sibuk sendiri. Gerimis mulai berhenti. Sedikit demi sedikit langit sore mulai menampakkan dirinya, dan menampakkan warna jingganya. Beberapa menit kemudian mata ini mulai perih karena radiasi gadget. Kemudian wajahku beralih menatap langit sore itu. Lama tak menikmati sunset, rasanya ingin menikmati sunset. Langit memang belum cerah betul, ada sedikit kombinasi warna abu-abu di balik bentangan warna jingga itu. Aku juga tidak menemukan sisi keindahan utama dari sunset itu, yaitu matahari. Mungkin sang surya sembunyi di balik tingginya gedung kuliah. Aku teringat saat di kampung halaman. Kebetulan rumahku di daerah pesisir dan setiap libur pasti kusempatkan untuk menikmati sunset bareng sahabatku. Kupikir ini lebih indah dari sunset yang (terpaksa) kunikmati di pojokan gedung kuliah. Terhalang gedung, matahari tak terlihat. Sunset tak sempurna. 


Mungkin hal itu sama dengan kehidupan. Kita sebagai manusia (harusnya) sadar kalau diri kita ngga sempurna karena kesempurnaan hanya milik sang pencipta, gusti mulia raya. Kita ditakdirkan sebagai makhluk sosial, kita butuh manusia lain untuk bertahan hidup. Entah kita yang menyesuaikan, atau membuat orang lain untuk membantu kita agar dapat menyesuaikan dengan kehidupan. Yang penting tetap mencari jalan untuk memecahkan sebuah masalah.

Kehidupan itu saling melengkapi. Sekecil apapun kehidupan. Aku sendiri punya kekurangan di indera penciuman. Aku kurang bisa membedakan bau-bau yang sering dijumpai seperti bau nasi goreng, bau bumbu dapur, atau bau sederhana yang lain. Tapi kalo bau kentut yang beneran busuk sama bau duren masih bisa, haha. Mungkin bisa dibilang kurang peka. Contoh kasus saat di kosan aku ragu buat makan suatu makanan basah atau tidak karena udah lewat sehari. Aku ngga mungkin mengandalkan hidung. Aku harus cari solusi yang lain. Ada 2 pilihan solusi yang terlintas di otakku. Pertama bisa menanyakan ke orang lain, dan yang kedua adalah melihat dari segi makanan itu sendiri. Apa udah terlihat lendir, atau ada perubahan warna. Untungnya tuhan masih membuat inderaku yang lain berfungsi normal. Aku memilih mengandalkan penglihatanku karena kupikir menanyakan ke orang lain akan lebih lama dan belum tentu juga kalo pendapatnya benar. Selain itu ada keuntungan lain yaitu efisiensi waktu karena kalau aku mencari teman kosan belum tentu juga ada di kamarnya. Perlu waktu juga untuk menunggu teman kosan untuk membuka pintunya. Perlu waktu lagi untuk menanyakan pendapatnya. Setalah kulihat dengan teliti, ternyata memang ada lendir yang masih sangat tipis. Akhirnya aku tau harus berbuat apa untuk selanjutnya. Aku tidak jadi memakan makanan itu.

Setiap ingin memecahkan suatu masalah, pasti ada banyak pilihan untuk menyelesaikannya. Kasus pertama, aku memilih untuk tidak berbuat apa-apa dan terpaksa menikmati sunset tak sempurna itu. Keinginanku untuk melihat sunset tidak terpenuhi. Untuk kasus kedua adalah kebalikan, aku mencari jalan keluar untuk memecahkan sebuah masalah. Di situ aku memilih solusi mana yang paling pas untuk dilakukan terkait efisiensi energi dan waktu. Memang dua-duanya adalah kasus sederhana, namun dari kasus tersebut terselip sebuah pelajaran tentang mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang diambil, yang dilakukan, akan berefek untuk kehidupan selajutnya.

Sekarang, mati berandai-andai. Asumsikan kamu jadi aku. Kamu sedang di pojokan gedung kuliah dan tiba-tiba ingin menikmati sunset. Apa kamu akan pulang ke kampung halaman dulu untuk melihat sunset, menaiki tangga gedung untuk melihat sunset, atau mungkin memanjat gedung untuk melihat sunset? Hahaha, itu pilihan. 




31 Maret 2015

Ananda

Saya saat ini memang bukan siapa-siapa. Saya hanya anak ibu yang berusaha mematuhi nasehatnya. Terimakasih sudah menjadi ibu yang baik.




26 Februari 2015

Aku tahu (?)

Awalnya ku tak mau tahu
Karna kuyakin mereka semua batu
Yang susah menyatu
Satu demi satu

Berawal dari hal itu
Kegemaran ini mulai berlaku
Hingga sembilan belas usiaku
Dan tak ada orang yang tahu

Waktu demi waktu berlalu
Mulai mengerti ini itu
Kusimpan saja dalam benakku
Dan menjadi bibit ilmu

Perlahan, mulai muncul rasa candu
Tak ada rasa ragu
Untuk melanjutkan itu
Walau kadang masih menebak dadu

Aku adalah aku
Hanyalah karya dari ilahiku
Bagian dari suatu suku
Di Negara Maritimmu

Kuingin menjadi palu
Yang sehati dengan paku
Seperti limpang dan alu
Atau baju dan saku

Jangan sampai jadi residu
Hingga jadi perihal saru
Setengah tuna rungu
Setengah manusia bisu

Mulai berpikir sesuatu?
Hati-hati dengan hal palsu
Cepat lambat tuhanmu tahu
Terlihat dari wajahmu

Hayati sudah linu
Rebahan dirasa perlu
Semoga cepat berlalu
Karna hari esok menantimu

Pesanku, tengoklah sekitarmu
Karna dengan begitu
Akan terbuka panca inderamu
Kalbumu? Aku tak tahu (?)




6 Februari 2015
"Dunia ini hanya untuk orang-orang yang berani.

Semua yang kau lakukan pasti ada konsekuensinya. Tetap maju dan tetap berani menghadapi kehidupan!"

Anonim



2 Februari 2015


Sesempurna apa pun kopi yang dibuat, kopi tetaplah kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin disembunyikan (Filosofi kopi, 1996)

@ Ngopi Doeloe





12 Agustus 2014
"Tuliskan mimpi-mimpi anda secara nyata!!!
Karena jika tidak ditulis, maka kalian akan lupa!!!"

Danang Ambar Prabowo



1 April 2014