Halaman

Sunday, September 13, 2020

Cape mikir




Hampir satu tahun aku menetap di Surabaya dan bekerja sebagai pegawai swasta. Aneh rasanya. Dulu ngga ada cita-cita untuk jadi karyawan yang diwajibkan ngantor dan masuk dari jam sekian hingga jam sekian (atau bahkan overtime). Dulu cita-citaku adalah menjadi saintis dibidang tertentu atau bekerja di sebuah NGO (Non Government Organization) yang tetap ngulik dunia riset. Ralat, sampai sekarang.

Bulan kedua di Surabaya aku memutuskan untuk ke psikolog. Niatnya mau melanjutkan konsultasi sesi dengan psikiater saat di Bandung tapi dengan cara yang berbeda, jadi aku memilih psikolog. Niat lain adalah bertanya kenapa sejak di Surabaya aku jadi sering sambat. Aku banyak mempertanyakan sesuatu yang susah untuk kunalar sendiri, soal manusia, soal pekerjaan. Katanya, aku sedang disorientasi. Selain culture shock, dunia kantoran ini ternyata membuat energiku habis untuk memikirkan hal-hal yang sebenernya ngga terlalu penting untuk dipikirkan. Tentang sistem, tentang preferensi pertemanan, tentang ketidaknetralan, dan lainnya. Tapi aku memutuskan berhenti konsultasi setelah pertemuan ketiga karena tidak mendapat solusi yang solutif. Entahlah, kadang aku merasa orang lain ngga selalu bisa bantu problem yang kita alami dan yang bisa bantu diri kita hanya kita sendiri.

Aku juga masih berusaha untuk "in" di pekerjaan ini sampai sekarang. Pekerjaan yang ternyata jauh dari ekspektasi. Kata psikolog saat itu, dunia kerja memang banyak bumbu dan bisa jadi hanya sekian persen yang menerapkan materi kuliah. Tapi bukan soal itu. Ini soal kompetensi. Bukan masalah belajar hal baru. Aku merasa kurang kompeten untuk menyelesaikan masalah yang diberikan karena kadang memang bukan 100% bidangku. Tapi katanya dalam penyelesaian masalah apapun pasti butuh belajar dan proses. Aku terima karena kebetulan di pekerjaan ini tuntutan karyawan adalah menjadi generalist yang tidak perlu mendalami bidang hingga akar-akarnya namun tetap bisa menyelesaikan pekerjaan. Stelah dijalani, ternyata bukan aku banget. 

Hampir 8 bulan setiap weekend aku nelfon teman kuliah, teman SMA, atau teman lainnya untuk mengisi waktu dan melenyapkan rasa kesepian berada di kamar kosan. Selain tanya kabar, aku juga meminta prespektif mereka soal hidup yang mereka rasakan sekarang. Ternyata kebanyakan mereka punya problem yang sama, nyet! Mungkin memang begitu, kebanyakan permasalahan manusia dengan rentang usia 22 - 30 ngga jauh dari masalah kerjaan, krisis identitas, disorientasi, dan tentunya sandwich generation. Kata mereka sih jalani dulu aja. Dunia menuju dewasa memang ngga semulus SD SMP. Semakin lama kita hidup akan semakin banyak masalah dan dihadapkan dengan pilihan. Tinggal pilih yang mana yang mau diambil, yang mana yang kira-kira risikonya paling minim. Masalahnya kadang kita meleset dalam pengambilan risiko yang minim karena dinamisnya hidup. Lalu kita ngedumel, kesel, dan capek sendiri. Pilihannya antara kita yang healing sama keadaan atau bener-bener keluar dan mencari ruang yang tepat untuk membantu mengembangkan diri.

Kadang aku ngerasa bener-bener pengen banting setir untuk ngejar cita-cita. Tapi apa aku yakin mau meninggalkan ini semua? Toh sebenarnya yang kutekuni sekarang masih berhubungan dengan sains walaupun memang applied dan ngga akan bisa jadi ahli bidang tertentu. Ya, kadang hidup memaksa untuk menerima opsi ke 3 atau 4 karena itu yang terbaik menurut tuhan (untuk saat ini). Tapi sepertinya berhenti berdo'a karena kecewa bukan jadi opsi. Do'a aja biar suatu saat ada jalan dan bisa jadi diri sendiri, minimal 80% lah. Aku pengen menunjukkan ke khalayak kalau sains memang menarik dan sebenernya kekakuan dalam sains bisa dikemas dalam media yang menarik, entah gimana caranya dan profesi apa yang akan kujalani nantinya. 

Akhir kata, repot memang kalo udah ovethinking masalah identitas, bisa mikir sampe berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Tapi percayalah, tuhan suka kalau kita ada niat dan berencana yang baik-baik. Semoga rencana baik kita bisa diapprove sama tuhan. Aamiin.



No comments:

Post a Comment